Ayahku dan Sumber Semangatku - Cella Svatantra

Cella yang berarti ruang (Latin) dan Svatantra berarti bebas (Sansekerta).

Selasa, 15 Oktober 2019

Ayahku dan Sumber Semangatku

Foto oleh : Hipwee

Sering dijuluki dengan sebutan "Orang yang Banting Tulang" di dalam suatu keluarga. Orang yang berperan penting dalam terjalannya suatu keluarga. Bekerja siang-malam, berangkat pagi hingga pulang pada malam hari. Itulah yang dilakukan seorang ayah. Melakukan hal yang menurutku itu sangat lelah, namun bagi ayah, “ayah tidak cape, nak” itulah yang selalu dikatakan kepadaku.

Ayahku lahir 10 tahun setelah kemerdekaan, tepatnya 27 April 1955, saat ini ia sudah berumur 64 tahun, sudah masuk memasuki masa tua. Sejak kecil, aku diajarkan untuk selalu kerja keras dan tidak patah semangat, termasuk ketika mengerjakan tugas dari sekolah. Tiap kali aku patah semangat, atau tidak menemukan jawaban atas soal-soal, ayahku selalu menasihati, memberikan kata-kata semangat. 

Ayah tak pernah mengeluh, meskipun ia tahu bahwa keringatnya mengucur di dahi nya. Ayah tidak ingin menunjukan ekspresi lelahnya kepadaku, alasan supaya aku tidak ikut mengeluh lelah. Alih-alih aku ikut mengeluh, aku justru melihatnya sedih. Sedih melihat ayah yang bekerja hampir tidak ada waktu istirahatnya, sedih melihat keringatnya bercucuran. Ayah pernah berkata kepadaku, “nak¸jangan lihat dari lelahnya ayah, tapi lihat dari semangatnya ayah”.

Aku pernah bertanya kepada ayahku, “yah, apa seorang lelaki itu tugasnya memang berat dibandingkan perempuan?” ayahku menjawab, “tidak, nak. Lelaki maupun perempuan tugasnya sama, tergantung bagaimana orang itu menjalaninya, kalau selalu mengeluh, ya akan terasa berat, tapi kalau dijalankan dengan ikhlas, akan terasa ringan.” Aku meresapi apa yang ayahku katakan.

Ayahku tetap bekerja meskipun umurnya sudah memasuki 50 tahun lebih. Ayah memang sudah pensiun dari pekerjaan sebelumnya, karena factor umur. Tapi itu tidak membuat ayah berhenti untuk tetap bekerja. Ayahku berjualan makanan, untuk membantu pemasukan keuangan keluarga. Ia tahu, bahwa keuangan keluarga sedang terpuruk, tapi ia sudah tidak bisa bekerja di perusahaan-perusahaan lagi, karena keterbatasan umur. Jadilah ayahku berdagang, menjual makanan yang kekinian. Setelah subuh ia pergi berdagang, menetap di satu tempat yang memang ramai oleh orang-orang, lalu pulang ketika sudah masuk siang. Ayah melanjutkan berdagang lagi dari sore hari hingga malam, tiap hari ia lakukan hal yang sama.

Suatu malam, aku terbangun dari tidurku, aku berjalan melewati ruang sholat. Aku mendapati ayahku tengah berdoa kepada Tuhan, agar Tuhan menjaga, melindungi, memberiku kesehatan, dan mendoakan kesuksesanku nanti agar aku hidup tidak seperti kedua orang tuanya yang serba kesulitan. Memang ayah tidak mengucapkan dengan suara yang keras, hanya tersedu-sedu karena tangisan, namun aku masih mendengarnya.

Ketika mendengarnya, bergetar hatiku, air mataku tiba-tiba saja menetes tanpa kusadari. Membuat ayahku yang sudah se-tua itu tetap bekerja, mencari nafkah, membantu ekonomi keluarga. Aku merasa hina, merasa tidak berguna. Di depanku, ayah selalu tersenyum, selalu tertawa, memberikan nasihat, memberi semangat, tanpa aku tahu, bahwa di dalam hatinya ayah sedang bingung, sedang lelah, bahkan sedang sedih. Maaf, ayah.


Aku selalu berdoa, semoga Tuhan senantiasa memberikan kesehatan kepada kedua orang tuaku, melindungi dan menjaga kedua orang tuaku dari segala bencana. Aku selalu berdoa, agar orang tuaku bisa melihat aku wisuda, bisa melihat aku sukses. Aku juga berdoa, agar aku selalu bisa membuat kedua orang tuaku bangga.

3 komentar: